YOGYAKARTA (by Diksia.com)
Televisi merupakan produk
inovasi teknologi yang saat ini telah masuk sebagai bagian dari globalisasi.
Fungsi penyampaian informasi pada awalnya telah bergeser menjadi fungsi-fungsi
lain yang lebih kompleks, seperti halnya fungsi hiburan, dan sebagainya.
Dengan perkembangan waktu
yang selalu dinamis, produsen industri televisi semakin meningkatkan kapasitas
inovasinya demi kompetisi merebut hati pemirsa. Dengan latar belakang itulah,
banyak dibuat program-program yang diprediksikan menarik untuk menjaring pasar
konsumen yang lebih banyak. Muaranya jelas pada orientasi profit, sebagai
penunjang utama keberlangsungan industri televisi. Hal ini menyebabkan produsen
televisi dengan gencar menciptakan acara-acara menarik, menghibur, dengan
mengesampingkan dampak positif atau negatif jangka panjang masyarakat
konsumennya.
Fungsi hiburan tampaknya
digali lebih dalam lagi oleh para produsen TV dan menghasilkan program-program
yang menurut sebagian besar para pakar pertelevisian, pemerhati media, maupun
masyarakat dengan tingkatan pendidikan yang cukup, boleh dikatakan instan,
pragmatis, atau semacamnya. Dunia fantasi yang jauh dari realita sehari-hari
banyak dimunculkan untuk memanjakan harapan-harapan masyarakat yang sebagian
besar masih tergolong marjinal.
Anak-anak merupakan
pangsa pasar potensial untuk semua produk, termasuk televisi. Usia anak-anak
merupakan usia yang memungkinkan mereka menjadi imitasi dari apa yang dilihat,
didengar, dan dirasakannya. Anak-anak akan dengan mudah menerima tayangan
televisi dan bahkan ’melahapnya’ tanpa proses ’mengunyah’
Dalam ilmu psikologi,
anak usia 9-10 tahun belum mampu membedakan antara kenyataan dengan fantasi.
Akibat rangsangan televisi, anak akan dibenturkan pada banyak hal, seperti
tayangan amoral, apalagi bila itu diperkuat dengan realitas sosial yang ia
lihat di lingkungannya sehari-hari. Bisa jadi, apa yang ia lihat di TV
merupakan tindakan yang benar menurutnya.
Memang tidak selamanya
televisi memberikan dampak negatif, tetapi selama konsumen, terutama anak-anak,
tidak memiliki bekal pengetahuan yang cukup untuk memilah-milah mana yang baik
dan mana yang tidak, maka efek negatif akan terlihat cukup dominan. Tak heran
bila anak-anak Indonesia tumbuh dengan nilai-nilai dan pengetahuan yang banyak
didapat dari nilai TV. Hasil studi Dr. Jay Martin dari Universitas Southern,
California menunjukkan fakta yang memiriskan hati. Dari hasil penelitiannya
terhadap 732 anak selama beberapa tahun, anak yang menonton TV terpacu untuk
berbuat kasar terhadap orang tuanya, berkelahi sesama anak, dan kejahatan
remaja. Dari sini, bisa dilihat bahwa televisi menjelma menjadi pembentuk
pengetahuan, sikap, dan nilai. Televisi yang penuh warna dan gerak memang
sangat menarik perhatian anak-anak, sehingga hal ini memungkinkan bagi mereka
untuk menjadikan aktivitas menonton televisi sebagai rutinitas sehari-hari,
terlebih bila orang tua mereka disibukkan dengan rutinitasnya masing-masing.
Sehingga, peran orang tua untuk mendampingi anak-anaknya menonton TV menjadi
penting.
Pangsa pasar televisi
yang juga dipandang potensial selain anak-anak adalah remaja. Mengapa ? Menurut
Narsbitt dan Aburdene dalam Armando, kalangan muda adalah kalangan yang memang
dipandang sebagai motor utama terbentuknya budaya global. Budaya global disini
menyangkut istilah kapitalisme. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya,
apapun produk inovasi pasti akan berujung pada orientasi profit.
Program-program menarik dibuat sedemikian rupa, tidak lain juga untuk menarik
iklan-iklan masuk. Dengan kata lain, iklan diandalkan sebagai sumber dana utama
kehidupan industri pertelevisian.
Korelasinya dengan
remaja, melalui iklan, perlahan-lahan dibentuklah jiwa konsumerisme dalam diri
remaja kita. Hal ini merupakan efek yang boleh dibilang negatif bila dipelihara
dan dijadikan sebagai gaya hidup.
Selain itu, remaja ABG
(Anak Baru Gede) pada usia 14-15 tahun, masih memiliki kecenderungan perilaku
yang tidak menentu. Setelah melewati proses meniru, mengidentifikasi, dan
mengembangkan perilaku pada usia sebelumnya, pengaruh yang diterimanya sejak
kecil lambat laun tertanam sedikit demi sedikit.
Selain efek membentuk
budaya konsumerisme yang menggila di kalangan remaja, efek dari nilai-nilai
yang terkandung dalam tayangan remaja saat ini bisa dibilang penuh dengan
kesemrawutan global. Serial-serial TV yang banyak mengisahkan gaya hidup remaja
metropolitan banyak mengandung unsur kekerasan (baik kata-kata maupun
perilaku), nilai-nilai anti pendidikan, penyimpangan pola asuh, pendewaan
materi, bahasan seks yang vulgar, dan masih banyak lagi. Bahkan, pengaruhnya
juga sampai pada merusak empati remaja, karena berbagai tayangan memaksanya
menjadi orang lain di luar dirinya. Sehingga, mereka pun menjadi lentur, tidak
memiliki pengalaman empiris untuk meletakkan empati sosialnya.
Secara psikologis, masa
remaja merupakan fase pertengahan yang banyak didominir proses pencarian jati
diri. Emosi remaja yang meluap-luap, ekspresif, dan labil sangat rentan
terpengaruh faktor eksternal.
Nampaknya, budaya komunal
yang sarat dengan nilai-nilai solidaritas dalam lingkungan pergaulan remaja
juga menjadi alasan seorang remaja melakukan dan memilih aktivitasnya, termasuk
menonton televisi. Apalagi bila tayangan televisi yang ditontonnya juga menjadi
tren di lingkungan pergaulannya.
Kekuatan televisi sebagai
media elektronik yang mengedepankan efek audio visual menjadi magnet tersendiri
bagi masyarakat kita untuk menjadikan TV sebagai media kesayangan. Audio visual
mampu menangkap mata orang yang melihatnya dan seakan-akan menghipnotis orang
tersebut untuk tidak mengalihkan pandangannya sedikitpun.
Sifat-sifat televisi yang
menyampaikan pesan secara sederhana atau sebagai transistor, menggunakan bahasa
simbol yang mudah dipahami, menggunakan idiom gambar, membuat pemirsa berinteraksi
satu arah dan cenderung pasif. Dan bila dilanjutkan lebih jauh, hal ini akan
membuat pemirsa secara universal menjadi kurang kritis, kurang kreativitas
imajinatif, dan memiliki perkembangan kognitif yang rendah. Ini masih dampak
dari TV dilihat dari sifat-sifat penyampaiannya, belum pada efek
tayangan-tayangannya.
Efek tayangan TV bisa
jadi beragam. Terdapat pula pro kontra terhadap televisi. Pendapat yang pro
mengatakan bahwa TV dapat : 1) Mempercepat penyebaran informasi, 2)
Meningkatkan industri musik dan hiburan (production house), 3) Memperluas
wawasan yang tidak bisa diperoleh dari lingkungan sekitarnya, dan 4) Memotivasi
memperoleh pengetahuan. Sedangkan pendapat yang kontra mengatakan bahwa TV
dapat berdampak negatif dengan penayangan kekerasan, muatan seks yang
berlebihan, buaian iklan yang membentuk jiwa konsumtif, penciptaan stereotipe
tokoh yang ditayangkan, timbul ketakutan dan kerisauan, dan lain-lain.
Penelitian Greenberg
menyatakan bahwa ada empat alasan tertinggi mengapa masyarakat melihat TV,
yaitu : 1) Mengisi waktu luang, 2) Melupakan kesulitan, 3) Santai, 4) Sekadar
kebiasaan. Selain itu, tampaknya budaya lisan yang mengakar dalam tradisi
bangsa ini juga mempunyai andil besar dalam mempengaruhi masyarakat untuk lebih
memilih media TV daripada media cetak seperti buku.
Buku yang kaya akan kosa
kata dan menggunakan hanya media visual diinterpretasi sebagai hal yang kurang
menarik sejak masa kanak-kanak. Berbicara mengenai minat baca, tentu saja harus
dirunut sejak awal, yaitu sejak usia anak-anak. Dan tentunya peran orang tua
sebagai pemegang kendali pengasuhan dan pembinaan dalam rumah menjadi sangat
dominan.
Karena sifatnya yang
visual dan tidak bergerak, buku dapat menciptakan interaksi yang lebih hidup
dalam alam pikiran pembaca. Pembaca diajak untuk aktif melalui berpikir, dan
hal ini akan mencetak individu yang kreatif, kritis, dan evaluatif. Memang
secara tampilan, bahan bacaan semisal buku tidak semenarik televisi, namun
efeknya, membaca merupakan gerbang menuju kekayaan imajinasi, karena kemampuan
memvisualisasikan kemungkinan-kemungkinan berdasarkan kenyataan. Ini
berhubungan juga dengan sisi kreatif. Sedangkan sisi kritis dan evaluatif
muncul saat seseorang membaca kisah-kisah dalam buku, imajinasinya akan
digunakan untuk mengevaluasi efektivitas sebuah rencana dengan membayangkan
hasil akhir yang mungkin.
Semakin banyak kisah dan
situasi yang dibacanya, semakin banyak solusi dan fakta mengenai informasi yang
bermanfaat terkumpulkan, dan akan semakin dalam kemampuan seseorang dalam
berimajinasi. Selanjutnya, pikiran dan akalnya akan berkembang. Praktis, ini
akan sangat berguna bagi anak atau remaja untuk berekspresi dan menentukan
sikap di kehidupan nyata. Nyatanya, bila menonton TV sudah menjadi rutinitas
pada anak, akan sangat sulit mengalihkan perhatiannya pada aktivitas membaca.
Kecenderungan TV yang mengajak anak-anak untuk berimajinasi dengan alam
pikirannya secara pasif, membuat anak menjadi introvert, yang nantinya bila
diteruskan akan menjadi salah satu karakter kuatnya.
Minat baca anak menjadi
terkikis. Anak akan merasa memiliki dunianya sendiri dengan menonton TV,
seakan-akan ia tidak memerlukan orang lain, dan sulit mengungkapkan apa yang
ada dalam pikirannya. Hal ini karena sel-sel otaknya tidak terbiasa untuk
berpikir kritis seperti halnya membaca buku.
Selain itu, anak juga
merasa memiliki kebebasannya melalui TV. Sebab, porsi tayangan TV tidak
menyebutkan garis-garis yang jelas antara segmen tontonan anak dan orang
dewasa. Terlebih, TV tidak pernah mensosialisasikan budaya baca sebagai budaya
yang juga perlu dikembangkan, semisal promosi buku melalui TV.
Sedangkan pada remaja, TV
lebih menjanjikan dalam menampilkan gaya hidup hedonis yang lagi tren dan
digaungkan para remaja. Visualisasinya lebih nyata dan gampang diadopsi. Juga
karena tayangan TV lebih dapat diterima oleh jiwa muda yang ekspresif.
Penutup
Akhirya, remaja yang
sedang berada dalam masa peralihan antara masa kanak-kanak menuju dewasa, akan
lebih sulit mengubah kebiasaan menonton TV menjadi membaca. Akan lebih baik
bila budaya membaca disosialisasikan sejak dini, terutama oleh para orang tua.
Mungkin kosa kata
’membaca’ perlu dibuat lebih ringan, dan tidak terbatas hanya pada buku. Ya,
membaca apa saja yang ada di sekitar kita. Papan informasi, baliho, spanduk,
papan penunjuk jalan, brosur, kemudian berlanjut ke media cetak seperti koran,
majalah, buku.
Agar membaca tak dianggap
membosankan, pengenalan gaya membaca secara online juga bisa diperkenalkan
sebagai variasi dan mengikuti tuntutan zaman. Ya, membaca perlu dikenal sebagai
aktivitas yang menyenangkan, lebih dari sekedar membaca textbook.
Survei UNDP (United
Nation Development Program) menyebutkan Indonesia merupakan negara
yang rendah minat bacanya. Laporan UNDP itu menyimpulkan rata-rata orang
Indonesia hanya membaca satu judul buku atau bahkan tidak membaca sama dalam
sekali satu tahun.
“Keadaan kita beda jauh
dengan masyarakat Belanda yang membaca 30 judul buku dalam satu tahun. Untuk
kawasan Asia, Indonesia kalah dari Thailand yang membaca 5 judul dalam satu
tahun,” kata Sani B Herwaman, psikolog anak dan direktur Lembaga Psikologi Daya
Insani.
Minat baca harus
ditumbuhkan sejak anak-anak lahir. “Penelitian mengungkapkan anak yang sejak
lahir diajak berkomunikasi dan dibacakan cerita akan mempunyai kemampuan verbal
lebih tinggi dibandingkan yang didiamkan saja,” kata Sani.
Orang tua masa kini lebih
cenderung mengajak anak-anak mereka ke mal daripada membaca buku. “Anak-anak
itu juga lebih tertarik untuk bermain game atau menonton televisi daripada
membaca buku. Hasilnya anak-anak tidak suka membaca buku,” katanya.
Sani mengatakan bahwa
untuk merangsang minat baca anak-anak usia sekolah, orang tua harus mengurangi
faktor penghambat seperti game dan televisi. “Saat bermain game anak-anak
cenderung tidak memperhatikan keadaan sekeliling dan membuat mereka menjadi
individualis,” katanya.
Buku merupakan media yang
sangat baik untuk melakukan transfer nilai kepada anak serta menstimuli
kreativitas, kemampuan berpikir empirik dan kemampuan linguistik anak. “Hal itu
menjawab kebutuhan akan pendidikan budi pekerti selain kebutuhan akademis,”
katanya.
“Membaca bermanfaat untuk
meningkatkan mental alertness, daya tangkap, kreativitas dan logika
berpikir dan meningkatkan wawasan pengetahuan. Membaca juga menanamkan
nilai positif seperti rasa empati, solidaritas, toleransi dan tolong menolong,”
katanya.
Menurut Sani, membaca
juga bermanfaat membentuk karakter positif dan membangun hubungan emosional
hangat dengan orang tua. “Hubungan itu akan terbentuk bila orang tua mengajak
anak-anak mereka berdiskusi mengenai suatu topik yang dibaca,” katanya.
Dia juga menyarankan
orang tua, agar mengajak anak-anak ke toko buku dan membiarkan mereka
memilih buku sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar